by Aida Fadhilah
Berjarak sejengkal dari sosok indah itu, sang gadis duduk memeluk kedua lututnya. Dagunya ditanam dalam-dalam di antara celah lututnya. Bibir bawah yang merona itu ia gigit, salurkan segala resah yang penasaran dalam hatinya. Namun, ia diam. Mengikuti kemauan sosok perkasa nan elok yang berada di sebelahnya: menikmati segala hening yang berusaha membunuh waktu.
“Aku rindu,” getar suara bass yang khas sampai ke telinga sang gadis. Ia tergelak. Tak habis kira jikalau dia yang disampingnya yang akan menodai kesunyian malam ini. Sang gadis menatap sang lelaki dengan kedua mata bulatnya yang bercahaya.
“Aku merindukanmu.” Kata-kata itu pamungkas. Sang gadis tersenyum syahdu mendengarnya. Ia memperkecil jarak antara mereka dan bersandar di pundaknya yang lebar. Sang gadis menangis senang, kemanjaannya kembali menjelma. Pada lelaki perkasa nan indah disampingnya, ia tak mengerti akan cinta lain yang serupa.
“Aku juga. Maaf… aku nggak pernah bisa ungkapkan itu sebelumnya,” urai sang gadis akan rasa rindu yang kian membuncah.
Lelaki itu menepuk pundak sang gadis mesra. Ia rangkul pundak kecil yang selalu ia khawatirkan. Segala peluh dan upaya yang ia perjuangkan tak pernah kalahkan rasa khawatirnya. Rasanya mencurah dalam segala laku yang ia punya. Baginya, sang gadis ialah harganya yang berharga.
Gadis itu aku, yang tak pernah sanggup ungkapkan betapa besar cintaku padanya. Dan ia, sosok perkasa nan elok itu adalah ayahku. Semua cintanya terungkap pada laku.
“Aku mencintaimu, duhai pahlawanku.”
Bogor, Januari 2016
Copyright: aidafh